Jakarta – Kita tahu Singapur dan Korea
Selatan tidak ada potensi daerahnya, tetapi mereka dapat membangun ekonominya. Itu adalah potensi harus digali sendiri. Potensi harus digali, dibangun dan kita harus
ciptakan dengan kebijakan ekonomi.
Hal tersebut disampaikan oleh Rektor Kwik Gian Gie School of Bussiness, Prof Antony Budiawan, dalam dialog kebangsaan Gerakan Masyarakat Penerus (GMP) Bung
Karno, yang di gelar Rabu (17/09) di Hotel The Acacia, Salemba Raya, Jakarta Pusat.
“Industri kelapa sawit karet sudah ada dari 80-an, tidak perlu kita bangun lagi. Ekonomi adalah sesuatu yang akan
meningkatkan kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai puncaknya pada 2011 dengan pertumbuhan 6,49. Setelah itu, secara perlahan namun
pasti, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,21 persen dan kemudian menurun lagi pada triwulan II 2014
menjadi 5,12 persen, jadi secara total pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I 2014 ini hanya mencapai 5,17 persen, turun siginifikan dari pertumbuhan
2013 yang mencapai 5,78 persen,” ungkapnya.
Melihat perkembangan ekonomi global itu katanya, saat ini masih tidak menentu, tetapi cenderung melemah, bukan
tidak mungkin pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2014 hanya 5 persen saja, atau bahkan lebih rendah.
Selain itu, kata Anthony, neraca perdagangan Indonesia.juga mengalami defisit yang hingga kini masih berlanjut.
Pada 2012, neraca perdagangan Indonesia mengalai defisit 1,7 miliar dollar AS. Defisit neraca perdagangan ini untuk pertama kalinya sejak 1961. Tahun 2013 dan semester I 2014, neraca perdagangan Indonesia masih mengalami defisit
masing-masing 1,4 miliar dolar AS dan 1,2 miliar dolar AS.
Yang mengkwatirkan justru neraca perdagangan non migas yang selalu membukukan surplus yang cukup besar, bahkan mencapai 38,5 miliar dolar AS tahun 2007.
Kini, menguap menjadi 3,9 miliar dolar saja. Penyebab utama menurutnya, fundamental ekonomi Indonesia lemah. Penurunan kinerja ekonomi Indonesia tercermin terutama dari memburuknya neraca perdagangan yang mengalai defisit secara terus menerus selama tiga
tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena selama 10 tahun terakhir lebumih bergantung dari industri komoditas,
khusunya batubara, karet dan kelapa sawit. Pada 2011, total ekspor ketiga komoditas inu mencapai hampir 40 persen dari total ekspor, tandasnya.
Anthony menilai selama ini ekonomi kita sering terjebak dalam politisasi APBN. Dia pun menelisik pemerintah kita,
eksekutif dan legislatif, sering terjebak dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), dimana pengeluaran
belanja negara seolah-olah menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi. Padahal kontribusi belanja negara terhadap pertumbuhan ekonomi sangat rendah sekali, sekitar 0,1 hingga 0,5 persen saja.
Oleh karena itu jelasnya, subsitusi dari satu pos belanja ke belanja lainnya tidak berdampak banyak terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi, dapat berdampak cukup besar secara politis.
“Jadi arah kebijakan ekonomi pemerintahan mendatang yakni pertama, pembangunan dan kebijakan industri dan
perdagangan yakni pembangunan ekonomi harus berasal dari pembangunan industri. Pemerintah harus mempunyai
peta jalan pembangunan industri yang memuat perencanaan pembangunan industri prioritas untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang optimal,”
terangnya.
Selanjutnya, pembangunan infrakstruktur, kebijakan investasi yaitu: kebijakan fiskal, sistem perpajakan dan insentif, ujarnya.
Dalam hal ini tegasnya, pemerintah harus berani memberlakukan kebijakan fiskal sistem perpajakan serta pemberian insentif yang agresif kepada investor agar kita
dapat bersaing dengan negara tetangga. Hal inj menjadi sangat kritikal ketika MEA mulai berlaku pada awal 2016.
Editor : Jerry Massie
Selatan tidak ada potensi daerahnya, tetapi mereka dapat membangun ekonominya. Itu adalah potensi harus digali sendiri. Potensi harus digali, dibangun dan kita harus
ciptakan dengan kebijakan ekonomi.
Hal tersebut disampaikan oleh Rektor Kwik Gian Gie School of Bussiness, Prof Antony Budiawan, dalam dialog kebangsaan Gerakan Masyarakat Penerus (GMP) Bung
Karno, yang di gelar Rabu (17/09) di Hotel The Acacia, Salemba Raya, Jakarta Pusat.
“Industri kelapa sawit karet sudah ada dari 80-an, tidak perlu kita bangun lagi. Ekonomi adalah sesuatu yang akan
meningkatkan kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai puncaknya pada 2011 dengan pertumbuhan 6,49. Setelah itu, secara perlahan namun
pasti, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,21 persen dan kemudian menurun lagi pada triwulan II 2014
menjadi 5,12 persen, jadi secara total pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I 2014 ini hanya mencapai 5,17 persen, turun siginifikan dari pertumbuhan
2013 yang mencapai 5,78 persen,” ungkapnya.
Melihat perkembangan ekonomi global itu katanya, saat ini masih tidak menentu, tetapi cenderung melemah, bukan
tidak mungkin pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2014 hanya 5 persen saja, atau bahkan lebih rendah.
Selain itu, kata Anthony, neraca perdagangan Indonesia.juga mengalami defisit yang hingga kini masih berlanjut.
Pada 2012, neraca perdagangan Indonesia mengalai defisit 1,7 miliar dollar AS. Defisit neraca perdagangan ini untuk pertama kalinya sejak 1961. Tahun 2013 dan semester I 2014, neraca perdagangan Indonesia masih mengalami defisit
masing-masing 1,4 miliar dolar AS dan 1,2 miliar dolar AS.
Yang mengkwatirkan justru neraca perdagangan non migas yang selalu membukukan surplus yang cukup besar, bahkan mencapai 38,5 miliar dolar AS tahun 2007.
Kini, menguap menjadi 3,9 miliar dolar saja. Penyebab utama menurutnya, fundamental ekonomi Indonesia lemah. Penurunan kinerja ekonomi Indonesia tercermin terutama dari memburuknya neraca perdagangan yang mengalai defisit secara terus menerus selama tiga
tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena selama 10 tahun terakhir lebumih bergantung dari industri komoditas,
khusunya batubara, karet dan kelapa sawit. Pada 2011, total ekspor ketiga komoditas inu mencapai hampir 40 persen dari total ekspor, tandasnya.
Anthony menilai selama ini ekonomi kita sering terjebak dalam politisasi APBN. Dia pun menelisik pemerintah kita,
eksekutif dan legislatif, sering terjebak dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), dimana pengeluaran
belanja negara seolah-olah menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi. Padahal kontribusi belanja negara terhadap pertumbuhan ekonomi sangat rendah sekali, sekitar 0,1 hingga 0,5 persen saja.
Oleh karena itu jelasnya, subsitusi dari satu pos belanja ke belanja lainnya tidak berdampak banyak terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi, dapat berdampak cukup besar secara politis.
“Jadi arah kebijakan ekonomi pemerintahan mendatang yakni pertama, pembangunan dan kebijakan industri dan
perdagangan yakni pembangunan ekonomi harus berasal dari pembangunan industri. Pemerintah harus mempunyai
peta jalan pembangunan industri yang memuat perencanaan pembangunan industri prioritas untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang optimal,”
terangnya.
Selanjutnya, pembangunan infrakstruktur, kebijakan investasi yaitu: kebijakan fiskal, sistem perpajakan dan insentif, ujarnya.
Dalam hal ini tegasnya, pemerintah harus berani memberlakukan kebijakan fiskal sistem perpajakan serta pemberian insentif yang agresif kepada investor agar kita
dapat bersaing dengan negara tetangga. Hal inj menjadi sangat kritikal ketika MEA mulai berlaku pada awal 2016.
Editor : Jerry Massie
COMMENTS