Pro dan Kontra UU MD3
Jakarta – Saat ini koalisi Merah- Putih
ngotot memperjuangkan Undang-undang yang mana kepala daerah nantinya akan dipilih oleh DPRD. Pro dan kontra terkait pengujian Undang- undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), pun merebak dimana-mana. Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) Prof Hamdi Muluk menilai bahwa akhirnya tindakan-tindakan politik rasional hilang semua, artinya rasionalitas
hilang.
“Tapi pada akhirnya semua tindakan politik yang rasional hilang semua dan politik akan kembali pada keseimbangan
semula. Jika tidak rasional dan misalnya, sikap-sikap seperti kemarin pembiaran koalisi permanen. Politisi kejar
madu dan madunya tidak di Prabowo sekarang,” katanya.
Ditanya soal tim merah putih bakal menang di Mahkamah Konstitusi (MK), Muluk mengatakan argumen MK konsititusi
dan kepentingan rakyat itu yang akan diuji oleh MK, katanya kepada fokusmanado Senin (22/9/2014) di Tomang, Jakarta Barat usai seminar dan dialog publik yang di gelar D’Ligth Institute.
Ditambahkan Muluk, soal pilkada langsung tafsiran MK, kepala daerah dipilih secara demokratis tentunya dicari model demokratis yang paling demokratis diantara yang ada. Di DPRD juga demokratis MK, cuma dipilih rakyat lebih demokratis lagi, logikanya seperti itu akal sehat saja, jadi Undang-undang yang mengatur itu.
“Lihat realita pada akhirnya politik tidak bisa menghindari, dia tidak boleh jauh dengan kehendak terlalu jauh, maka akan terjadi alinasi politik jika ditahan-tahan maka orang malas, dan sudah barang tentu akan marah,” katanya.
Lagi menurutnya, alinasi ketika politik ditingkat elit dan publik jaraknya terlalu jauh politik alination. Elit itu melakukan tidak ada konektivitas dengan publik.
“Saya bilang konsekwensinya itu di kesana atau dia marah. Sekarang rakyat kalau dialinasikan gampang marah karena
mengapa struktur politiknya juga demokratsis sekarang tidak zamannya lagi represif kita tidak bisa apa–apa.
Sekarang artikulatif apalagi sudah ada sosial media. Sadar gak! politisi itu jangan berpikir seolah-olah zaman Soeharto lagi,” tutur guru besar Universitas Indonesia (UI) ini.
Jakarta – Saat ini koalisi Merah- Putih
ngotot memperjuangkan Undang-undang yang mana kepala daerah nantinya akan dipilih oleh DPRD. Pro dan kontra terkait pengujian Undang- undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), pun merebak dimana-mana. Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) Prof Hamdi Muluk menilai bahwa akhirnya tindakan-tindakan politik rasional hilang semua, artinya rasionalitas
hilang.
“Tapi pada akhirnya semua tindakan politik yang rasional hilang semua dan politik akan kembali pada keseimbangan
semula. Jika tidak rasional dan misalnya, sikap-sikap seperti kemarin pembiaran koalisi permanen. Politisi kejar
madu dan madunya tidak di Prabowo sekarang,” katanya.
Ditanya soal tim merah putih bakal menang di Mahkamah Konstitusi (MK), Muluk mengatakan argumen MK konsititusi
dan kepentingan rakyat itu yang akan diuji oleh MK, katanya kepada fokusmanado Senin (22/9/2014) di Tomang, Jakarta Barat usai seminar dan dialog publik yang di gelar D’Ligth Institute.
Ditambahkan Muluk, soal pilkada langsung tafsiran MK, kepala daerah dipilih secara demokratis tentunya dicari model demokratis yang paling demokratis diantara yang ada. Di DPRD juga demokratis MK, cuma dipilih rakyat lebih demokratis lagi, logikanya seperti itu akal sehat saja, jadi Undang-undang yang mengatur itu.
“Lihat realita pada akhirnya politik tidak bisa menghindari, dia tidak boleh jauh dengan kehendak terlalu jauh, maka akan terjadi alinasi politik jika ditahan-tahan maka orang malas, dan sudah barang tentu akan marah,” katanya.
Lagi menurutnya, alinasi ketika politik ditingkat elit dan publik jaraknya terlalu jauh politik alination. Elit itu melakukan tidak ada konektivitas dengan publik.
“Saya bilang konsekwensinya itu di kesana atau dia marah. Sekarang rakyat kalau dialinasikan gampang marah karena
mengapa struktur politiknya juga demokratsis sekarang tidak zamannya lagi represif kita tidak bisa apa–apa.
Sekarang artikulatif apalagi sudah ada sosial media. Sadar gak! politisi itu jangan berpikir seolah-olah zaman Soeharto lagi,” tutur guru besar Universitas Indonesia (UI) ini.
COMMENTS