Pro dan Kontra UU MD3
Jakarta – Kasus sengketa terkait Undang-undang (UU) MD3, yakni pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung oleh DPRD hal ini terus mengundang polemik dan kontroversi ditengah publik.
Pakar Hukum Tata Negara Prof Revly Harun saat ditemui disela-sela sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (23/9/214), kepada fokusmanado menjelaskan, kalau berbicara UU MD3 maka banyak permohonan bukan satu dari berbagai macam, namun ada 8 permohonan lebih.
“PDIP punya keinginan lain, oara punya anggota DPRD ini pemilihan seperti sekarang ada juga yang kemudian DPD yang mempermasalahalkan semua UU terutama low backing process ada juga kelompok civil society yang mempermasalahkan mengenai 30 persen hak perempuan dan hak imunitas di DPR tetapi kita lihat dari semua permohonan UU ini bermasalah,” ujarnya.
Dijelaskan pula, dari sisi proses dan substansi bermasalah terlihat betul UU ini dipaksakan pada tanggal 28 Juni padahal kita tahu bersama bahwa belum selesai semua pembahasan terutama yang terkait dengan DPRD, sehingga tidak heran hampir tidak ada UU yang merubah tentang DPRD. Kemudian substansi lainya, proses saya melihat UU inj sarat dengan kepentingan dari sisi ini kepenyingan jangka pendek dari kepentingan saja padahal harus memperbaiki institusi DPR/MPR dan DPRD, kata Harun.
“Menurut saya dari sisi (Constitutional Morality) moralitas konstitusional dan legal morality, UU ini bermasalah begitu pun dari sisi substansi banyak yang bermasalah. Sebagai contoh inskonstitusi pemilihan Ketua DPR lain, DPRD lain kemudian hak imunitas yang dilindungi hanya DPR dan yang lain dibiarkan terlalu berlebihan mem-protect,” urainya.
Menurut Harun, terkait UU ini, DPR juga tidak pro terhadap eksistensi perempuan. Nah! substansi ini sedang dipersoalkan dan DPD yang paling luar biasa adalah tidak patuh pada UU keputusan MK yaitu putusan tanggal 23 Maret 2013, yang mengembalikan kewenangan DPD kepada rel konstitusi DPD, kepada rel kontitusinya sesuai Pasal 22 D. Ketika kemudian UU MD3 lama diputusakan dengan UU yang baru ternyata materi yang diputuskan MK itu cuma diambil separuh-paruh, masih ada keenganan DPR untuk kemudian benar-benar merealisasikan apa yang diputuskan MK. Misalnya, terkait dengan yang bersifat tripartik meletakan DPD pada marwahnya karena pembahasan itu tidak antar DPD, plus 9 frasksi di DPR, katanya.
Dirinya pun melihat hal ini lebih kepada menegakan kepada apa yang sudah diatur, yang kalau keputusan MK tidak ditaati atau dipatuhi oleh lembaga seperti DPR maka kemudian konstitusionalisme negara ini berada dalam proses yang berbahaya karena proses lembaga tertinggi tidak ditaati.
Editor : Jerry Massie
Editor : Jerry Massie
COMMENTS