JAKARTA - Tantangan dihadapi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dalam mengkonstruksikan jenis pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan DPR Setya Novanto dan Fadli Zon, terkait kunjungannya dalam kampanye Donald Trump. Dengan kata lain, ini bukan sekadar mencari pasal, tapi juga memformulasikan penilaian MKD.
"Khawatirnya MKD kesulitan untuk menemukan dan mengaitkan pelanggaran dengan pasal-pasal kode etik DPR," ujar Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)) Ronald Rofiandri di Jakarta, Rabu (9/9).
Ia menegaskan, MKD bisa pula memanggil Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau instansi pemerintah untuk melakukan analisis dan penilaian tentang kebijakan investasi yang prospektif dan sejalan dengan politik luar negeri pemerintah.
Menurut Ronald, MKD bisa saja memanggil pakar hubungan internasional, hukum internasional atau diplomasi sebagai referensi penilaian MKD. MKD juga perlu melakukan konfirmasi apakah pihak Kementerian Luar Negeri seperti KBRI setempat karena mengetahui agenda pimpinan DPR menemui Donald Trump (DT).
"Mengingat kebiasaan selama ini setiap kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri, pihak Kementerian Luar Negeri dan KBRI setempat selalu turut diberitahu. Jika tidak diberitahu, maka pertemuan pimpinan DPR bersifat spontan," katanya.
Dijelaskan, adanya alasan atau pertimbangan pimpinan DPR melakukan pertemuan dengan DT karena menjalankan fungsi diplomasi atau bagian dari kepedulian pimpinan DPR khususnya untuk mempromosikan peluang investasi di Indonesia, semestinya dilihat dari relasinya dengan peraturan dan pemerintah.
"Pertanyaannya adalah apakah langkah pimpinan DPR menemui DT mempunyai porsi dan berdampak signifikan mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri. Atau malah sebaliknya, mendatangkan masalah dan lebih banyak mengandung unsur ketidaklayakan?" ujar Ronald.
Perlu diketahui pula bahwa berdasarkan Tata Tertib DPR Pasal 58 Ayat (3) huruf f sesungguhnya peran menjalin hubungan luar negeri, baik dengan institusi negara maupun swasta, merupakan tugas setiap komisi (sesuai dengan bidang) dan dikoordinasikan oleh Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) .
"Jadi tidak ada yang bersifat spontan seperti yang didalihkan pimpinan DPR. Perlu ada keterkaitannya dengan komisi dan BKSAP," ucapnya. Ronald Rofiandri, Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK).
Sumber : Beritasatu.com
COMMENTS