ilustrasi. |
Adalah Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada Serentak menyebutkan bahwa pembatalan pasangan calon terpilih, hanya dapat disengketakan jika, pertama selisih suara dari 0,5 persen hingga 1 persen pada daerah yang mempunyai jumlah penduduk hingga 12 juta jiwa. Kedua, 1 persen hingga 1,5 persen untuk wilayah yang mempunyai jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta jiwa. Serta, selisih suara 2 persen untuk daerah yang mempunyai jumlah penduduk kurang dari 2 juta jiwa. Sehingga sengketa dapat diproses oleh MK. Di luar itu, putusan KPU atas penetapan pemenang pilkada dianggap sah. Manado yang berpenduduk di bawah 2 juta jiwa, peluang gugatan Pilkada dari pasangan calon akn diterima MK jika terjadi maksimal 2 persen suara.
Dalam berbagi kesempatn, Ketua MK Arief Hidayat menegaskan bahwa pihaknya akan tetap berpatokan pada pasal 158 UU No 8 Tahun 2015 tentang pilkada serentak dalam menangani sidang perselisihan hasil pilkada karena hal tersebut yang menjadi dasar pemohon mengajukan sengketa. "Mereka (pemohon) kan mengajukannya karena perselisihan hasil. Jadi pasal 158 itu yang akan kami tetap jadikan acuan," ujar Arief di beberapa media online baru - baru ini.
Arief menjelaskan bahwa MK akan tetap konsisten menjalankan hal tersebut meski tidak memungkiri untuk menerima alasan lain jika memang terbukti bahwa hasil pilkada dipengaruhi dengan hal-hal lainnya saat mendengarkan keterangan pemohon.
Pasal tersebut, kata Arief merupakan produk politik dan hukum yang ditentukan oleh politik UU DPR dan presiden. Kemudian pasal 158 oleh MK dibuat aturan turunnya di PMK Nomor 5 sehingga penafsiran yang betul dari pasal tersebut ada di PMK. "Seluruh masyarakat instansi harus melaksanakan UU. Melanggar etik saja kita dilaporkan ke dewan etik. Jangan kita diminta untuk melanggar kita harus konsisten. Itu sumpah saya," tukas Arief. (Red)
COMMENTS